Penampilan Bersahaja, Saldo Rekening Lain Cerita

Sebagai part of gen Z yg sekarang lagi menguasai dunia persosmedan, ditambah pas banget di usia seperempat abad yang rawan dihantam quarter life crisis, sosial media rasanya seperti panggung unjuk diri. Orang-orang terlihat sangat settle down sama hidupnya. Di usia ini, some of my friends already started a family, karirnya terlihat sudah stabil, gaya hidupnya terlihat makin enak, banyak lah yang aku tonton seliweran di sosmed. And turns out it makes me comparing myself with them. 


Sekarang aku semakin sadar kalau sosial media bener-bener jadi panggung untuk membuktikan harga diri kita, memperlihatkan dimana sih strata kita di masyarakat dengan memperlihatkan status pendidikan kita, memperlihatkan latar belakang keluarga kita, sampai kasih liat barang-barang apa aja yang kita punya dan apa yang mampu kita beli.

Karena sosmed ini dijadikan panggung pertunjukan ‘harga diri’ dimana orang-orang mempertontonkan gaya hidup, pencapaian, barang-barang yg mereka miliki, kita jadi punya tendensi untuk punya hal yg serupa atau setidaknya melakukan hal yg serupa biar merasa ga ketinggalan. Betapa terpaparnya kita atas ribuan konten di sosial media sehingga secara gak sadar standar hidup kita disetir sama hidup orang-orang di sosial media yang bahkan kita ga kenal kenal amat sama mereka.

Terus karena ini sosial media, jadi kita gatau realita di baliknya kaya gimana. Ketika aku mau nulis topik ini juga sebetulnya jadi refleksi ke diri aku sendiri. Misal, aku di sosmed seringkali nunjukin ketika aku jalan-jalan (which is actually quite affordable untuk orang dengan gaji umr sekalipun tergantung bagaimana prioritas keuangan mereka). Menurut beberapa orang yang liat mungkin ada yang berprasangka aku lagi flexing. Tapi intensi sebenarnya adalah aku ingin nunjukin gimana bagusnya pemandangan di tempat itu. Dan karena ini sosial media, jadinya orang-orang juga gatau betapa aku harus menekan expenses dengan lebih banyak masak atau makan di warteg daripada jajan dan nongkrong demi bisa jalan-jalan.

Atau ketika aku nulis di bio instagram latar belakang pendidikan aku sebagai salah satu awardee beasiswa, pernah ada yg bilang aku lagi flexing untuk nunjukin latar belakang pendidikan aku. Padahal intensi nya adalah supaya kalo ada orang atau temen aku yg mau daftar beasiswa yg sama, mereka bisa tau kalo aku salah satu awardee nya dan sangat terbuka untuk dimintai bantuan atau saran. Jadi, that’s why i think social media can make both bad and good representations. Karena orang-orang gak bisa liat full picture dari apa yg kita posting di sosial media. Ini juga jadi salah satu hal bias dari sosial media, kita gak tau niatan apa di balik postingan orang-orang itu.

Detail-detail kecil itu yang mungkin followers gabisa dapet. Misal ternyata ada orang yg lifestyle nya lavish, keliatannya dari higher status, hp nya selalu the newest iphone, kemana mana selalu pake mobil, outfitnya branded from head to toe tapi ternyata aslinya broke, hutang kartu kreditnya banyak, kelilit pinjol, paylaternya numpuk. Pamer lagi bangun rumah padahal yang dipamerin bukan rumah sendiri. Update barang-barang branded, tapi ternyata nyicil semua. Atau ada juga orang orang yg pamer tapi bukan punya dia sendiri tapi mungkin punya pacarnya atau orang tua nya. 

Behind the scene itu yang kita gabisa liat di sosial media, makanya kita selalu mudah rendah diri dan merasa ketinggalan sampe punya perseprsi dan mikir ,”Wah tajir juga ya.” “Oh mereka umur segini udah punya ini itu ya.” Padahal ya ga selamanya gitu juga.

Gaya hidup di sosmed ga serta merta menggambarkan keadaan ekonomi aslinya. Funny, how we can do anything just for seeking the validation and people’s opinion. Menurut aku ini juga jadi part of living under capitalism. Your worth determines by those price tags, seakan-akan harga diri diliat dari seberapa keren lifestyle-nya.

Jadi ya pada akhirnya kontrolnya cuma ada di diri kita sendiri. Kita gak bisa ngatur orang mau posting apa. Gabisa ngatur orang mau beli apa, mau ngutang apa engga, mau uangnya darimana, kita gapunya kontrol apa-apa. Jadi, kalo udah merasa konten yang kita konsumsi terlalu banyak dan berlebihan, gapapa banget untuk mute, unfollow atau bahkan berhenti main sosmed. 

Di era gempuran sosia media ini, kayaknya hidup bersahaja tanpa mempertontonkan banyak hal di sosial media itu jadi tantangan banget buat dilakuin. Mengejar gaya hidup menjadi suatu keharusan sebagai pembuktian diri yang harus dipertontokan ke orang lain, tanpa peduli semorat marit apa kondisi finansialnya. 

Besar  pasak daripada tiang bukan pilihan. Yaaa akan lebih baik bisa afford lifestyle yg lavish tapi juga didukung dengan cashflow finansial yang sehat. Tapi bisa punya hidup bersahaja dengan saldo rekening yg bikin tenang tanpa mikirin tagihan, harusnya jadi ultimate goal biar hidup lebih tenang dan bermakna.



Komentar

Postingan Populer