Merawat Hidup
Akhir-akhir ini cukup memikirkan banyak hal. Mungkin karena sedang berada di fase usia dewasa awal, banyak hal yang terasa belum pas dan berantakan. Menyadari bahwa saat ini rutinitas terasa semakin sempit karena hanya sekadar bekerja, pulang ke rumah atau sesekali jalan-jalan. Dulu, sebagai anak muda yang naif, aku jarang sekali membayangkan akan bekerja dari pagi sampai sore kemudian pulang ke rumah dan mengulang rutinitas harian itu setiap hari. Padahal dulu yang dibayangkan adalah bisa hidup nomaden sambil bertemu hal-hal baru yang menyenangkan tiap hari. Masa depan memang tidak bisa disangka-sangka.
Menurutku adalah hal yang arogan,
ketika kita terlalu yakin akan jadi seperti apa kita di masa depan. Sepertinya,
identitas manusia itu dinamis. Kita tidak pernah tahu realita akan membawa kita
kemana, sebaik apapun persiapan yang sudah dilakukan. Yang pasti, proses dalam
hidup yang kita lalui akan membentuk kita yang baru setiap harinya. Segala bentuk
kejadian yang baik dan yang buruk akan membentuk diri kita hari ini, esok dan
seterusnya. Maka dari itu, seharusnya sudah tidak di bangku sekolah pun, proses
belajar tidak pernah berhenti.
Dari begitu banyaknya kejadian
yang telah aku lewati, pertanyaan selanjutnya adalah; menjadi manusia seperti
apa aku ini? Apakah aku sedang
menciptakan kehidupan yang aku ingin? Apakah aku bisa berlapang dada ketika
suatu hari nanti hidup yang aku mau tidak seperti hidup yang bisa aku wujudkan?
Sebagai orang dewasa, apa yang
kita mau seringkali dibenturkan dengan kepentingan lain di luar diri kita
sendiri. Mimpi kita tercarut-marut oleh kenyataan; usia yang menua, tuntutan
hidup yang kian banyak dan harapan orang tua yang memberati pundak. Mempunyai mimpi
seakan hanya diperbolehkan bagi anak kecil yang masih naif. Manusia dewasa
katanya harus lebih realistis.
Mau tidak mau kita harus mengakui
bahwa cara pikir kita sebagian besar didominasi oleh cara pikir orang-orang di
sekitar kita. Entah itu keluarga atau masyarakat tempat kita tinggal. Tidak
tahu siapa yang membentuk, tapi selalu ada standar sosial dan ‘template’ hidup yang sepertinya harus
dilalui seperti kebanyakan orang. Hiruk pikuk dunia dan bisingnya suara
orang-orang di sekitar membuat aku tanpa sadar memaksa diriku untuk mengikuti
jalan hidup yang sama.
Hidup seringkali harus tersegmentasi dengan urutan sekolah, bekerja, mapan, menikah, punya anak, bekerja sampai tua kemudian meninggal. Ada yang salah? Sebenarnya enggak juga, sih. Memang pola hidup manusia pada umumnya seperti itu. Semuanya mungkin mengikuti pola yang sama. Tapi, sejujurnya aku tidak ingin ikut-ikutan seperti itu. Aku selalu ingin ada ‘hakikat’ di balik apa yang aku lakukan.
Tentu memang harus bekerja demi
kebutuhan hidup tapi juga jangan sampai lupa sama diri sendiri dan keluarga. Jangan
lupa bahwa menikah itu bukan karena usia yang semakin menua , tapi atas dasar
keyakinan bahwa dengan bersama seseorang melalui pernikahan akan membuat kita
menjadi manusia yang lebih baik. Jangan lupa
bahwa manusia juga punya mimpi-mimpi yang harus diraih, bukan dikubur atas nama
tuntutan hidup. Jangan lupa bahwa hidup bukan hanya sekadar untuk hidup tapi
juga berbuat baik dan bermanfaat.
Ada mimpi yang harus diwujudkan,
ada petualangan yang harus direalisasikan dan ada banyak hal di luar sana yang
perlu dijelajahi untuk memahami kembali seperti apa seharusnya manusia
menjalani hidupnya. Tentu bukan menjadi manusia yang hanya sekadar mengikuti ‘template’ hidup seperti yang aku
tuliskan di atas. Karena, beberapa belas tahun ke depan mungkin aku sudah tidak
bekerja di tempat kerjaku sekarang. Tidak tahu juga sampai kapan bisa bernapas
di dunia. Aku tidak ingin hidup sia-sia. Aku ingin hidupku berarti, apapun yang
aku lakukan. Ya, meskipun tidak benar-benar tahu juga bagaimana cara yang benar
untuk melakukannya.
Komentar
Posting Komentar