Aku Ingin Berhenti Menjadi Anak Durhaka

Kemarin aku sempat hadir di sebuah acara tasyakur khotmil qur’an yang diselenggarakan sekolah dengan mengundang anak dan orang tuanya. Di sepanjang acara, ada banyak interaksi hangat antara orang tua dengan anaknya. Ada seorang ayah yang memeluk anaknya di atas panggung sambil meminta do’a untuk anaknya di hadapan para hadirin karena terlalu bangga pada anaknya yang sudah berhasil menyelesaikan pembelajaran al-qur’an. Ada ayah yang memberikan hadiah kepada anaknya sambil memeluk dan mengatakan bahwa “Ayah bangga pada kamu, Nak.” Lalu ada ibu yang memeluk sambil menciumi anak lelakinya sambil menangis. Kemudian tiba-tiba terasa sesak seraya haru menyadari bahwa hal itulah yang selalu aku damba dari mimi dan bapak dari kecil hingga sebesar ini.

Aku tumbuh dengan perasaan yang ganjil kepada orang tua, terutama mimi. Menyadari perasaan ini sejak SMP, ada banyak hal yang ingin aku protes dari serangkaian aturan ketat buatan mimi yang menurutku cukup tidak logis. Ada banyak aturan dari mimi yang harus aku patuhi tanpa tapi dengan mengesampingkan pendapat dan keinginanku. Selalu ada hirarki yang dibuat di dalam keluarga bahwasanya anak tidak memiliki hak untuk mengutarakan keinginan dan pendapatnya serta keputusan sepenuhnya diambil berdasarkan pertimbangan orang tua saja.

Ketika aku mengutarakan tentang aturan yang mimi buat terlalu mengikat, selanjutnya yang terjadi adalah labeling bahwa anak yang tak berbakti, gampang mengeluh, tukang menyalahkan, atau durhaka adalah anak yang tidak pernah patuh pada ‘jalan’ yang dibuat oleh orang tuanya.

Tidak terhitung berapa banyak diskusi alot, debat panas antara aku dengan mimi yang pada akhirnya berujung pada narasi awal; bahwa aku anak tidak berbakti karena seringkali bersinggungan paham dengan orang tua. Pemikiranku yang katanya liar, keinginanku yang katanya aneh, cita-citaku yang katanya tidak menjanjikan, selalu langsung disimpulkan tanpa ada ruang bagiku untuk didengarkan terlebih dahulu pendapatnya. Selalu ada perbedaan pendapat dan pemikiran—terkhusus ketika aku sudah dewasa—yang membuat jurang pemisah antara aku dan mimi semakin melebar.

Dulu aku ingin sekali bilang kalau aku lebih ingin dipeluk ketika tidak lolos tes seleksi perguruan tinggi sebanyak tiga kali daripada disemangati dengan cara “Gak berguna nilai-nilai bagus selama 3 tahun kalau gak diterima di universitas yang bagus.” Aku lebih ingin didengarkan pendapatnya tentang cita-cita yang aku ingin daripada memaksakan agar aku mengambil jurusan kuliah yang sesuai dengan cita-cita bapak yang tidak berhasil terwujud. Aku lebih ingin ditemani tidur sambil dipeluk ketika sakit daripada dibuatkan sup sambil dimaki-maki yang katanya aku terlalu sibuk sampai bisa sakit dan merepotkan.

Aku ingin mimi dan bapak percaya tentang kesibukan yang aku lakukan di kampus, tapi aku tahu mimi selalu meragukan kejujuranku dan tidak pernah suka dengan kegiatanku di luar rumah.  Aku tidak ingin diabaikan dan ‘dihilangkan’ keberadaannya ketika aku melakukan kesalahan, aku tidak ingin mimi diam saja ketika aku mengajak bicara. Aku tidak ingin dicaci maki dengan segala perkataan yang membuatku menjadi seburuk-buruknya manusia di hadapan orang tua sendiri ketika aku melakukan hal-hal yang tidak mimi dan bapak suka. Aku tidak ingin mendengar kata-kata kasar itu, tapi aku tidak bisa apa-apa.

Selalu ada tekanan emosional dalam bentuk verbal yang menghancurkan keberhargaan diri. Setiap kali melihat cermin aku memandang diriku sebagai anak durhaka, anak yang tidak tahu terima kasih, perempuan yang tidak bisa menjaga diri karena sering pulang larut karena terlalu banyak kegiatan di luar rumah, dan perkataan menyakitkan lain yang tidak pernah ingin aku dengar dari siapapun terutama dari orang tua sendiri.

Narasi anak durhaka dan semua label negatif yang pernah dikatakan itu berputar-putar dalam kepala dan menghujam dalam hati sehingga tanpa sadar aku meyakini hal itu. Aku tumbuh dengan perasaan tidak percaya diri, perasaan tidak layak dicintai, aku penuh dengan emosi negatif yang tidak pernah aku bisa luapkan dengan benar. Aku tumbuh menjadi manusia yang berantakan secara emosional. Dan aku tidak menyadari bahwa luka yang tidak pernah divalidasi itu berpengaruh pada banyak hal seperti caraku bergaul, rasa tidak nyaman di depan orang tua sendiri, ketidakmampuan aku menunjukkan perasaan cinta, pengabaian pada diri sendiri dan menyakiti diri sendiri. Aku dipenuhi hal-hal buruk selama bertahun-tahun, dan aku berusaha mati-matian untuk keluar dari neraka itu.

Aku merasa tumbuh menjadi manusia yang cacat secara emosional dan tumbuh dengan perasaan yang campur aduk kepada orang tua. Perasaan takut, kecewa, sedih, marah, sayang yang sulit aku definisikan menjadi satu perasaan. Namun satu hal yang pasti, aku ingin diapresiasi atas hal-hal kecil yang aku lakukan, aku ingin orang tuaku berbicara dengan nada yang rendah dan tenang saja, aku ingin lebih banyak dipeluk, disemangati dengan kata-kata hangat, ditegur dengan bahasa halus daripada didikan yang terlalu keras seperti yang selalu orang tuaku berikan. Tapi aku harus minta maaf karena keinginanku sepertinya adalah tuntutan yang memberatkan mimi dan bapak.

Aku juga tidak ingin menghilangkan bahwa kedua orang tuaku bukan tidak pernah melakukan kebaikan dan memberi cinta. Mereka mencintaiku, aku perlahan bisa sadar sekarang ketika melihat dari perspektif yang berbeda. Kebaikan dan cinta itu ada. Namun, ekspresi untuk menunjukkan bahasa cinta itu yang tak sama dengan apa yang aku harapkan.

Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, tentu rasanya tidak nyaman berkutat pada lingkaran yang sama dan menjadi manusia yang penuh dengan kebencian terutama pada orang tua sendiri. Dari banyaknya hal yang aku pelajari aku perlahan mulai mau memahami bahwa apa yang aku lakukan pun tidak bisa dibenarkan.

Aku selalu memaksakan pemikiranku pada orang tua padahal pemahaman dan pengalaman kami berbeda. Aku juga baru menyadari bahwa orang tuaku tumbuh dalam keadaan yang sama. Aku tahu bagaimana kerasnya didikan orang tua mereka dahulu bahkan jauh lebih kasar dan keras dari apa yang aku dapatkan. Dan mereka menganggap bahwa itulah cara mendidik yang benar, padahal nyatanya tidak. Maka, belajar memaafkan diri sendiri dan memaklumi gaya parenting orang tuaku menjadi tugas yang utama. Tentu tidak semudah seperti apa yang aku tuliskan di sini.

Aku masih bertanya-tanya barangkali juga mimi punya isu mental, mungkin diam-diam mimi sangat tertekan, mungkin ia jenuh, letih, sakit, ataupun merasakan hal yang sama akibat dari pengasuhannya saat kecil dulu dan mengekspresikannya dengan hal-hal buruk dan kemarahan yang tanpa ia sadari melukai aku. Mungkin ia juga ingin membangun kedekatan dengan anaknya tetapi tidak tahu bagaimana caranya karena orang tuanya pun tidak pernah menunjukkan itu pada mimi dahulu.

Dan terjawab ketika ada suatu masa dimana mimi membagikan sebagian bebannya walau hanya lewat cerita, membagikan sedikit rasa sakit atau kecewanya karena dulu juga diperlakukan Abah sebagaimana ia memperlakukan aku, dan mimi tidak sadar bahwa itu adalah luka menganga yang harusnya diselesaikan sebelum ia memiliki anak. Melihat dari kacamata itu rasanya aku dan mimi berada di jalan yang sama. Aku merasa memiliki alasan yang logis untuk memaklumi apa yang telah aku lalui akibat luka masa kecil yang mimi punya karena mimi juga sama tersiksanya.

Tentunya luka masa kecil yang aku bawa sampai saat ini memang tidak pernah tersentuh kata maaf, bahkan terkadang masih sesekali muncul dalam proses penyembuhan ini, tetapi dari sanalah aku belajar tentang besarnya arti kata maaf dalam kesalahan.

Aku ingin berhenti melabeli diri sebagai anak durhaka. Aku ingin memaafkan diri sendiri dan berhenti mengingat-ingat hal-hal tidak menyenangkan yang pernah aku lalui dulu. Saat ini, aku hanya ingin menghabiskan banyak waktuku dengan mimi dan bapak, mengganti tahun-tahun yang dulu aku habiskan untuk menghakimi dan membenci mereka. Aku ingin mendekatkan diri dengan mimi, jikapun mimi tidak tahu cara mendekatkan diri dengan anaknya.

Aku ingin tumbuh bersama mimi dan bapak, melihat mereka menua sembari menyembuhkan sakit masa lalu yang sama-sama pernah kita rasakan. Aku ingin berhenti membenci dan ingin selalu membersamai mereka. Aku ingin diriku, mimi, bapak, dan anak lain yang pernah melewati hal serupa tak lagi merasa menjadi manusia yang rusak. Aku ingin mencintai mimi dan bapak sama besarnya dengan aku ingin dicintai oleh mereka.

Bukankah menjadi orang tua adalah pekerjaan yang sangat berat?

Komentar

Postingan Populer