Tercela-kah Perempuan yang Selalu Pulang Malam?


Saya perempuan berusia 20-an. Tidak tinggal di metropolitan dan kurang beruntung karena berada di tengah-tengah masyarakat yang masih ‘kepo’ akan urusan pribadi orang lain. Juga, saya dibesarkan dalam keluarga yang bisa dibilang masih konvensional dan konservatif. Belakangan ini saya agak terganggu karena ada beberapa orang—di dalam maupun di luar keluarga—yang memberikan stigma bahwa perempuan dinilai baik atau tidaknya dilihat dari jam berapa dia pulang ke rumah. Sayangnya, saya terkena stigma itu karena seringkali baru berada di rumah jauh setelah matahari terbenam.

Saya masih berkuliah dan aktif dalam sebuah organisasi di kampus. Saya juga bekerja paruh waktu yang kemudian mengharuskan saya pulang setelah langit mulai gelap. Paradigma buruk yang melekat dalam diri saya yaitu bahwa saya dikategorikan perempuan yang kurang baik karena jarang ada di rumah, terlalu banyak aktivitas di luar, seringkali pulang larut malam yang dianggap menyalahi kodrat saya sebagai perempuan. Saya tidak beruntung karena lingkup sosial saya seakan tidak menerima feminisme atau menyetujui kesetaraan gender. Ruang gerak saya seringkali dibatasi dengan dalih bahwa saya adalah perempuan yang harus jaga nama baik keluarga, harus jaga pandangan dan kelakuan bahkan lingkup pertemanan saya pun harus  dipersempit agar tidak banyak bergaul dengan lawan jenis untuk menghindari fitnah. Dengan hal itu, menurut saya masyarakat menjadi tidak ramah atas hak dan banyak hal yang ingin saya lakukan sebagai perempuan.

Selain menyetujui feminisme atau menghilangkan budaya patriarki, saya beharap sekali masyarakat dapat menyimpulkan suatu hal tidak hanya dalam satu penglihatan saja, melainkan melihat dalam berbagai sudut pandang. Adalah bodoh menyatakan bahwa perempuan yang kerap kali pulang di luar jam malam merupakan perempuan serampangan yang bisanya hanya keluyuran sampai tengah malam. Tidak bisakah kita melihat segala sesuatu dari berbagai kaca mata? Kita tidak tahu apa yang mereka lakukan di luar sana, apa yang perempuan-perempuan tersebut kerjakan dan perjuangkan, atau tanggung jawab seperti apakah yang mereka miliki sehingga mereka masih harus berkeliaran di tengah-tengah dingin angin malam.

Beberapa stigma mengatakan bahwa perempuan rawan mendapatkan perlakuan ‘tidak aman’ ketika pulang larut malam. Atau dalam agama yang mengatakan kalau haram hukumnya perempuan keluar malam tanpa didampingi oleh mahram. Sebelum lebih jauh melihat dari kaca mata agama, tidak bisakah kita lihat terlebih dahulu konteks yang menyebabkan perempuan pulang malam? Entah karena kuliah, kegiatan organisasi ataupun pekerjaan. Intinya, melabeli buruk seseorang tanpa mengetahui duduk perkaranya adalah tidak benar.

Poin yang ingin saya garis bawahi yaitu bahwa di masyarakat sosial kita—di keluarga juga—ada standar sosial yang mengkerdilkan kebebasan diri kita sendiri. Dimana standar sosial itu kita tidak tahu siapa yang menciptakan, merujuk pada apa, dan mengapa standar sosial yang diciptakan oleh masyarakat itu harus ada untuk membatasi ruang gerak kita, salah satunya perempuan. Maka dari itu, mari kita belajar untuk saling memahami dan menghargai. Kita perlu tahu bahwa setiap manusia memiliki keputusan hidup yang diambil masing-masing. Kita tidak bisa mencampuri itu.  

Komentar

Postingan Populer