Mana Mungkin Perempuan disamakan dengan Permen

Beberapa waktu lalu, sosial media saya cukup ramai dengan sebuah karikatur tentang perempuan berhijab yang dianalogikan sebuah permen yang dibungkus rapi dan perempuan tidak berhijab diibaratkan sebuah permen yang tidak dibungkus apa-apa. Permen yang tidak dibungkus oleh apa-apa ini kemudian dihinggapi oleh banyak lalat dan secara tidak langsung menggambarkan begitulah kiranya seorang perempuan jika tanpa hijab.

Karikatur ini disajikan dalam sebuah buku cerita bergambar anak muslimah. Mungkin, tujuan baiknya adalah sebagai media edukasi mengajarkan kewajiban berhijab pada anak. Tapi benarkah begitu adanya?

Dari segi agama, kita semua tahu bahwasanya hijab adalah atribut agama. Hijab menjadi bentuk dari modesty dan kepatuhan pada perintah Allah. Tentunya kewajiban berhijab ini tidak diperintahkan serta-merta tanpa adanya manfaat bagi perempuan itu sendiri. Hijab salah satunya sebagai bentuk pelindungan dan penjagaan diri bagi seorang perempuan. Saya rasa tak ada lagi yang bisa diperdebatkan terkait perintah berhijab ini.

Namun, yang ingin saya soroti adalah narasi yang menganalogikan bahwa “Perempuan itu seperti permen”. Narasi ini mereduksi makna perempuan. Seakan-akan perempuan hanya objek semata. Narasi tersebut sangat mengobjektifikasi perempuan ke arah seksualitas. Hijab adalah salah satu bentuk komitmen sakral antara makhluk dengan Tuhannya. Orang lain tidak memiliki kapasitas untuk mengukur sejauh mana komitmen dan keimanan seseorang dengan Tuhannya jika indikator yang dilihat hanya hijab saja.

Analogi yang menggambarkan “perempuan berhijab ibarat permen yang dibungkus rapi sedangkan perempuan tidak berhijab ibarat permen tanpa bungkus yang mudah disemuti” merupakan sebuah perbandingan yang tidak sepadan. Analogi ini seakan mengantarkan kita pada simpulan bahwasanya perempuan berhijab jauh lebih mulia daripada perempuan tidak berhijab. Lebih jauh lagi analogi ini akan memunculkan pernyataan selanjutnya bahwa “perempuan berhijab akan selamat di akhirat daripada perempuan tidak berhijab”.

Kalaupun kita memaksa ingin membuat analogi antara perempuan berhijab dengan perempuan tidak berhijab, mungkin analogi seatbelt akan terdengar lebih masuk akal menurut saya. Mari kita analogikan perempuan berhijab adalah orang yang sedang naik mobil dengan menggunakan seatbelt sedangkan perempuan tidak berhijab adalah orang yang sedang naik mobil tanpa menggunakan seatbelt.

Saat mengendarai mobil, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Bisa saja tiba-tiba kecelakaan atau selamat sampai tujuan sesuai harapan. Menggunakan seatbelt tidak menjamin seseorang selamat saat kecelakaan. Begitupun tidak ada jaminan seseorang langsung mati saat kecelakaan karena tidak menggunakan seatbelt. Tapi setidaknya ketika menggunakan seatbelt kita bisa mengurangi resiko cedera parah meskipun tetap tidak ada jaminan kita akan selamat seutuhnya.

Seatbelt bisa menjadi analogi yang cukup tepat. Hijab adalah bentuk ketaatan dan perlindungan diri. (Sama halnya seatbelt yang dikenakan sebagai bentuk ketaatan terhadap tata tertib lalu lintas serta bentuk perlindungan diri untuk mengurangi resiko kecelakaan). Dengan hijab tidak otomatis menjadikan seorang perempuan selamat, lebih mulia, dan dijamin masuk surga. Begitu pun tanpa hijab tidak serta-merta menjadikan seorang perempuan tidak mulia, rendahan dan tidak berhak mencium bau surga. Tapi seperti analogi seatbelt tadi, hijab pun bisa menjadi salah satu bentuk ketaataan yang kelak akan menyelamatkan, meskipun belum ada jaminan.

Selanjutnya, pengibaratan perempuan tidak berhijab dengan permen tanpa bungkus yang dikelilingi banyak semut sungguh tidak relevan. Kalau mau membaca dan mengamati sekitar, kita bisa aware bahwa ada banyak sekali kasus pelecehan yang dilakukan di lingkungan pesantren. Atau pemerkosaan yang dilakukan di dalam rumah, di mana perempuan tidak datang secara sengaja untuk digoda. Seharusnya bukan hanya menekankan pada kewajiban menutup aurat bagi perempuan saja, namun juga paksaan untuk menundukkan pandangan bagi laki-laki. Harus setertutup apakah penampilan perempuan?

Dan yang paling terakhir adalah narasi perempuan ibarat ini membuat saya berpikir jangan sampai kita menjadi manusia yang ‘kepo’ akan urusan spiritual seseorang. Melabeli dan mengkotakkan seseorang hanya dilihat dari penampilan luarnya saja tanpa mau tahu perdebatan spiritual apa yang tengah dilalui oleh orang tersebut. Rasanya saat ini banyak sekali orang yang dengan tidak sadar menjadi hakim atas keimanan orang lain. Senang sekali mendiagnosa tingkat spiritual seseorang kemudian ramai-ramai ‘mendosakan’ orang lain. Mengukur sholeh tidaknya seorang perempuan dari seberapa panjang hijab yang digunakan.

“Yang ini lebih baik.”

“Orang itu lebih soleh.”

“Dia keimananya sedangkal itu. Pantas saja buka tutup hijab.”

Tahu apa kita tentang iman?



Komentar