Budaya: Dimana Harus Memperbaikinya?
Secara sederhana pengertian
budaya adalah pola ekspresi manusia. Kita bisa mengukur tingkat kualitas budaya
seseorang dari perilaku sehari-hari yang mereka cerminkan. Seorang suami bisa
mengekspresikan kemarahannya pada istri dengan cara memaki-maki, membanting
gelas, melempar kursi atau main tangan. Seorang ibu bisa memarahi anaknya yang
nakal dengan mencubit lengannya, menjewer telinganya atau mungkin mengurungnya
di kamar mandi. Atau ada juga yang mampu meredam amarahnya, mengendapkan
panasnya permasalahan hingga dingin, kemudian meluapkannya setenang gemericik
air.
Misalnya, mengajak untuk ngopi
sambil berdialog, merundingkan persoalan, membahas permasalahan, hingga
memecahkan perbedaan dan menemukan bersama-sama jalan keluarnya. Setiap manusia
memiliki hak otoritas bagaimana mereka akan meluapkan amarahnya. Namun, cara
mengekspresikan marah pun bisa mengindikasikan taraf kedewasaan budaya dalam
diri seseorang.
Saya teringat beberapa waktu yang
lalu ada seorang penjual asongan pulpen yang memasuki area kampus. Bapak ini
menjajakan dagangannya ke kelas-kelas—hanya di depan kelas saja. Waktu itu
kira-kira pukul 15.30 sebelum memulai perkuliahan. Bapak ini datang menjajakkan jualannya ke
kelas saya. Baru saja mengatakan beberapa patah kata, mempromosikan dagangannya
yang ia simpan di ember, seorang satpam tergesa menghampiri beliau kemudian
menarik paksa lengan beliau agar menjauhi area kelas. Si Bapak yang berjualan
ini memelas sambil mengatakan, “Salah saya apa?” karena beliau memang tiba-tiba
ditarik secara kasar dengan alasan yang diungkapkan oleh Pak Satpam, “Tidak
boleh berjualan di area kampus.”
Pemandangan yang mengharukan
menurut saya. Ketika seseorang yang sedang menjalankan tugasnya sebagai suami
dan ayah untuk menghidupi keluarganya tiba-tiba digiring dan diusir dengan
kasar seakan seorang kriminal. Apa salahnya dengan berjualan alat tulis di area
kampus? Pun jika memang tidak diperkenankan, setidaknya kita memiliki mulut
untuk menegur secara halus, kita memiliki nilai-nilai etika yang diajarkan
agama untuk berbuat sesuai kaidah. Seseorang mengatakan, “Ya begitulah tugas
seorang satpam. Harus mengamankan.” Apa kita tidak bisa tetap mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan ketika bekerja sekalipun? Tidak bayar kok! Saya tidak
berniat mengutarakan opini pribadi atas kejadian ini. Silakan teman-teman
menilai sejauh mana tingkat kedewasaan budaya dalam diri orang tersebut melihat
dari cara berperilakunya.
Ketika Rasulullah SAW dihina,
diumpat dengan kata-kata kotor dan dilempari batu saat berdakwah di Thaif,
Rasulullah segera bermunajat kepada Allah. Alih-alih meminta agar menimpakan
dua gunung kepada masayarakat Thaif, beliau meminta agar dirinya dikuatkan
menghadapi cobaan yang begitu berat serta memunajatkan doa yang begitu puitis
untuk masyarakat Thaif. Sudah jelas sekali bahwa Rasulullah menunjukkan tingkat
budaya yang berkualitas tinggi.
Kita juga seringkali melihat
sesuatu dari kaca mata luarnya saja. Memandang rendah pedagang kaki lima
dibandingkan seorang insinyur. Menganggap tidak perlu mengucapkan terima kasih
atas sepiring soto ayam yang sudah dihidangkan olehnya—meskipun dibayar—namun
manggut-manggut sambil tersenyum ramah mendengarkan ocehan Bapak insinyur
meskipun ngalor-ngidul. Kita seringkali
mengukur derajat seseorang hanya dari tingkat pekerjaannya saja. Bebas mengamuk
ketika pelayan restoran salah menyajikan menu namun hanya mampu nyengir getir
tanpa membantah ketika dosen mencoret-coret tugas yang dikerjakan semalaman
tanpa ampun.
Kita tidak melihat dari kaca mata
lain bahwa mungkin saja pedagang kaki lima lebih mulia daripada seorang
insinyur. Si bapak penjual soto ayam itu mungkin kerja banting tulang,
berkeliling menjajakan dagangannya dengan cara yang ‘halal’ untuk menyekolahkan
anaknya di universitas sedangkan si
insinyur adalah seorang eksploitator yang cerdas dengan menjalankan mekanisme
sistem birokrasi dan sistem kerja yang korup. Kita tidak bisa menghargai orang
lain ketika hanya menggunakan satu kaca mata saja. Bahkan paradigma kita dalam
melihat sesuatu juga menunjukkan tingkat kedewasaan budaya dalam diri kita.
Dalam hal cara berpikir, cara
kita mengungkapkan sesuatu, cara kita menyelesaikan suatu permasalahan, cara
kita berdiskusi dan berdialektika, ketika kita berinteraksi dengan sikap
“merasa benar” sehingga secara tidak langsung kita menghalalkan dan membenarkan
segala paradigma kita, kemudian menajis-najikan, menganggap kotor, dan
menganggap rendah cara berpikir orang lain, sesungguhnya itu juga mencerminkan
tingkat kedewasaan budaya kita.
Ketika merasa senang, kita bahkan
kebingungan mengekspresikan rasa senang kita dalam bentuk yang pas itu seperti
apa. Merayakan kelulusan dengan mencoret-coret baju, berpesta ria,
minum-minuman keras. Merayakan rasa cinta pada kekasih dengan cara
berdua-duaan, berciuman atau bahkan bergumul di atas ranjang yang sama tanpa
sebuah ikatan.
Cara bersedih pun diluapkan bukan
dalam hal-hal yang pas dan pantas. Merasa sedih dan tertekan, lebih memilih
menceritakannya pada kapsul-kapsul yang bisa membuat melayang dan melupakan
semua keluh kesah sejenak. Depresi diselesaikan dengan tali gantung diri atau
silet di ujung nadi. Kemudian kita beramai-ramai menghakimi mereka yang bunuh
diri tak beriman dan tak punya pegangan. Padahal kita punya kesempatan untuk
merangkulkan peluk dan melebarkan pendengaran. Kalau seperti itu kira-kira
tingkat kedewasaan budaya kita sudah sejauh mana, ya?
Masya Allah kereeen coy!!
BalasHapusSepakat sih sama apa yang kamu bilang, tapi teteh mau nanya kalo budaya ama akhlak bedanya apa? Jadi contoh nabi muhammad itu menunjukan budaya yg tinggi atau akhlak yang baik?😅 #curiousme
Secara definisi budaya itu pola ekspresi, suatu kebiasaan, atau cara hidup yang berkaitan dengan akal dan budi manusia. Budaya yang dipelajari akan sangat berpengaruh pada konsep diri seseorang. Konsep diri ini tentu diperoleh melalui proses belajar. Rasulullah dibimbing secara langsung oleh Allah melalui malaikat Jibril, bahkan ditegur langsung oleh Allah ketika melakukan kesalahan. Maka dari itu Allah meninggikan derajat beliau, memberikan kehormatan dan kemuliaan, sifat-sifat terpuji dan kebiasaan-kebiasaan mulia. Dari situlah terbentuk budaya dalam diri Rasulullah (selain akhlak) yang luar biasa hebat. Bukan hanya akhlak saja yang terbentuk, melainkan sebuah pandangan, cara hidup, sistem hidup, dan kepercayaan. singkatnya, akhlak yang baik itu salah satu dari reperesentasi tingginya budaya yang ada dalam diri seseorang. Ketika budaya itu bisa menciptakan konsep diri yang baik, insya allah cara kita hidup pun akan baik pula.
HapusMaaf, kalo kalimatnya berbelit-belit dan susah dimengerti. semoga bisa diterima dan dipahami, ya, teh. semoga bermanfaat juga! :)