Kapan Anak Kecil Ini Bisa Berdamai?
Kita saat ini adalah akumulasi dari banyaknya kejadian yang kita alami. Kepribadian, emosi, pemikiran, spiritualitas, terbentuk oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Wujud kita saat ini salah satunya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman yang kita lewati di masa kecil. Sudah seperempat abad hidup di dunia, tapi rasanya semua hal yang aku alami sejauh dari awal kapasitas ingatan aku bisa bekerja sampai saat ini, semua yang membentuk diriku sekaligus memporak-porandakan aku yang kecil, aku yang remaja hingga aku yang dewasa masih terekam sangat jelas.
Aku menyadari, ada banyak
kejadian yang membuat aku merangkak hingga tertatih mengumpulkan keberanian dan
nyawaku sendiri. Aku tidak akrab dengan kelembutan dan kasih sayang. Aku lahir
dari marah yang riuh dan berisik. Tumbuh dengan bentakan serta teriakan aturan
yang tidak bisa ditawar menawar. Juga hidup dengan sedih dan takut yang
berlarut.
Setelah sekian tahun, setelah perjalanan emosional yang panjang untuk menerima dan memaklumi, aku kira hal-hal buruk yang selalu bergejolak dalam diriku sudah membaik. Tapi, anak kecil yang dulunya juga ikut tercabik-cabik dalam proses pendewasaanku terkadang masih ingin menangis. Anak kecil ini tidak diperkenalkan bahasa cinta, rasa percaya, kehangatan dan lembut tutur kata. Afeksi dan kasih sayang rasanya menjadi hal yang asing bagi anak kecil ini. Yang dia tahu hanyalah bagaimana cara melarikan diri—tidak, dia hanya bisa menarik diri, membungkam mulutnya rapat-rapat dan meninggalkan siapa saja yang melakukan hal yang sama seperti apa yang ia terima di rumahnya,
Aku baru mengerti, bahwa
semua sifatku hari ini terbentuk oleh trauma-trauma masa kecilku dulu. Alam bawah
sadarku selalu menghubungkan apa yang aku alami saat ini dengan kejadian yang
pernah aku lewati dulu.
Aku baru mengerti mengapa
aku tidak pernah bisa berbicara jujur tentang hal-hal kecil pada orang-orang
terdekatku. Karena ternyata dulu anak kecil dalam diri aku akan dimaki habis-habisan
dan tidak diberi kepercayaan setiap kali berbicara jujur tentang dirinya. Dia lebih
memilih untuk diam atau berbohong jika terpaksa agar bisa ‘diterima’. Dan ternyata
anak kecil ini masih takut sampai sekarang. Takut orang lain juga memperlakukan
hal yang sama.
Aku baru mengerti mengapa
aku tidak pernah bisa terbuka tentang diriku sendiri pada orang lain dan lebih
banyak menyembunyikan diri. Karena ternyata dulu ketika anak kecil dalam diri
aku berbicara banyak, dia akan diabaikan. Tidak didengarkan dengan gembira dan
suka cita. Dan ternyata anak kecil ini masih takut sampai sekarang. Takut semua
orang juga memperlakukan hal yang sama.
Aku baru mengerti kenapa
aku tidak pernah bisa izin dengan terbuka aku akan pergi ke mana. Karena anak
kecil ini masih takut. Anak kecil ini sering dikutuk dan disumpahi hanya karena
izin untuk keluar rumah. Dan ternyata anak kecil ini masih takut sampai
sekarang. Takut semua orang juga memperlakukan hal yang sama.
Meskipun sudah dewasa,
aku masih sering kali gemetaran dan merasa sangat bersalah kalau pulang
terlambat atau pulang terlalu larut. Ternyata yang takut bukan aku, tapi anak
kecil dalam diriku. Karena dulu, tiap kali dia pulang terlambat maka amarah yang meledak-ledak yang akan menyambutnya di depan pintu.
Aku masih seringkali tidak
percaya diri, selalu merasa kurang meskipun sudah diyakinkan berkali-kali, selalu
ingin diakui dan divalidasi. Ternyata anak kecil ini dulu sering diragukan,
tidak diberi percaya dan tidak pernah diapresiasi. Dia masih takut sampai
sekarang.
Ternyata aku sering
merasa bersalah meskipun tidak tahu apa salahnya. Selalu merasa jadi beban
untuk orang-orang terdekat. Mungkin perasaan ini juga bertali-temali dengan anak
kecil dalam diriku yang dulu sering disalahkan, dibantah dan jarang diberi
ruang untuk didengarkan.
Sampai sekarang pun aku
sering merasa sedih tiba-tiba tanpa jelas alasannya. Atau merasa menjadi
seburuk-buruknya manusia yang tidak berguna, tidak bermartabat dan tidak
berarti apa-apa. Aku masih takut berbuat salah. Karena anak kecil dalam diri
aku tahu, kalau aku melakukan kesalahan maka keberadaanku akan ditiadakan
dengan pengabaian yang berlarut. Dan ternyata anak kecil ini masih takut sampai
sekarang. Takut semua orang juga memperlakukan hal yang sama.
Mungkin itulah kenapa aku
banyak menenggelamkan diri pada buku-buku. Semata untuk meredakan betapa
bisingnya isi kepalaku. Atau mengapa seringkali aku pergi kesana-kemari sendiri—meskipun
pada akhirnya akan menimbulkan pertengkaran yang lain, tapi bertemu orang-orang
asing seringkali lebih melegakan daripada dikelilingi orang-orang terdekatku. Aku
takut mereka menghakimi aku. Menajis-najiskan cara pikirku. Tidak menerima sedih-sedihku.
Mengkerdilkan keinginan-keinginanku. Anak kecil dalam diriku masih takut diabaikan
dan disumpah serapahi. Anak kecil ini masih takut. Takut semua orang juga memperlakukan
hal yang sama.
Pelarian sementara ini semata
untuk memberanikan anak kecil dalam diriku. Menenangkan dan mengajari dia agar
sama-sama bisa menerima. Bukan berarti aku belum lapang dan menerima. Aku belajar
dan berusaha. Menerima dan melupakan. Tapi alam bawah sadar terkadang di bawah
kendaliku. Mereka seringkali bertingkah untuk melindungi dirinya dari rasa
takut dan rasa tidak aman yang menghantuinya sejak kecil.
Aku mengerti betapa
kompleksnya konstruksi batin dan otak manusia. Berantakannya aku adalah
tanggung jawabku sendiri. Bukan kesalahan siapa-siapa, salahku sendiri yang
proses penerimaan dan penyembuhannya butuh waktu lama. Bukan tanggung jawab
siapa-siapa. Tanggung jawabku sepanjang hidupku sendiri.
Tapi aku merasa bersalah pada
mereka yang berada di dekatku. Mereka yang sudah tumbuh cantik dan penuh
tenang, tentu tidak bisa aku bebani dengan kompleksitasnya kepribadianku. Aku ingin
meluruhkan rasa takut dan khawatir sialan ini demi mereka tanpa mengorbankan ketenangan
mereka.
Anak kecil, mau sampai
kapan? Jangan sedih dan khawatir terus, ya. Kita berpegangan bersama-sama.
Komentar
Posting Komentar