Mengampuni Kegagalan
Dengan
prestasi di kelas yang lumayan keren, aku seringkali ditawari untuk mengikuti
berbagai macam lomba. Dari lomba cerdas cermat hingga lomba menulis cerpen.
Kegagalan demi kegagalan dimulai sejak saat itu. Dari sekian banyak lomba yang pernah
diikuti saat SMP, alhamdulillahnya belum pernah ada yang sampai memboyong
piala. Saat itu kepercayaan diri terbabat habis. Jiwa kompetitif mulai meredup
dan akhirnya mulai menyerah mengikuti berbagai lomba. Mungkin memang aku kurang
berbakat pada bidang perlombaan.
Kegagalan
terbesar yang membuat aku merasa dijungkir balikkan oleh hidup adalah pada saat
aku tidak diterima di universitas manapun. Saat itu aku dikategorikan siswa
yang berprestasi di sekolah dan bahkan mendapat peringkat teratas di kelas. Dengan
prestasi yang cukup memuaskan, aku sombong dan merasa untuk masuk perguruan
tinggi negeri tidak akan terlalu sulit. Ternyata kenyataannya tidak ada
universitas negeri yang mau menerimaku dengan nilai raport yang aku punya.
Belum menyerah, aku kembali mencoba peruntungan melalui tes SBMPTN dan akhirnya
gagal lagi. Bagi anak SMA yang naif dan merasa hidup akan selalu baik-baik aja,
aku merasa hidupku runtuh seketika. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat
selama satu tahun untuk kembali mempersiapkan tes perguruan tinggi di tahun berikutnya.
Mengambil
satu tahun cuti dengan ketidakjelasan akan masa depan membuat aku cukup
frustasi. Pada waktu itu, aku seringkali membandingkan diriku dengan
teman-teman yang lain. Di saat teman-temanku sudah mulai kuliah, membagikan
momen ospek dan kuliah di sosial media sedangkan aku masih linglung entah mau
kemana sambil berusaha mandiri mengumpulkan uang dengan bekerja serabutan. Saat
itu aku berpikir bahwa mengambil gap year
merupakan salah satu kegagalan terbesar dalam hidupku.
Tahun
berikutnya akhirnya aku lulus tes perguruan tinggi. Track record kegagalan belum berhenti sampai di situ. Aku ditempa
habis-habisan secara mental saat kuliah. Pada saat itu aku merasa tidak mampu
menyeimbangkan kehidupan perkuliahan. Aku harus membagi waktu antara kuliah,
organisasi, bekerja dan juga mencari pengisi hati. Meskipun sebenarnya opsi
terakhir tidak perlu dilakukan karena setelah dicoba ternyata sangat
merepotkan. Aku banyak keteteran pada saat kuliah dahulu.
Kalau
dipikir-pikir, kegagalan percintaan lebih dominan pada saat itu. Meskipun kelihatannya
sepele, ternyata kerumitan percintaan
anak muda benar-benar melelahkan. Dari mulai deket lama tapi gak cocok,
diselingkuhin, dighosting sampai
diselingkuhin lagi HAHAHA. Sedih tapi
akhirnya jadi banyak berkaca dan belajar. Bahwa ternyata tidak bisa asal
mengizinkan orang lain masuk ke dalam hidup kita dan tidak bisa mencintai orang
dengan asal dan sembarangan. Bab mencintai dan dicintai rasanya tidak akan
pernah khatam, karena aku seringkali berakhir kurang baik dalam hal ini.
Lalu,
merasa gagal juga menjadi anak yang berbakti karena seringkali berselisih paham
dengan orang tua. Pemikiran dan cita-cita aku seringkali berbenturan dengan
orang tua dan cukup alot untuk menemukan jalan tengahnya. Tidak ada yang lebih
melelahkan ketimbang berselisih dengan orang tua sendiri. Sampai saat ini pun
masih harus banyak belajar untuk menyederhanakan ego dan meninggikan empati
pada mereka. Masih selalu belajar untuk tidak hanya melihat dari sudut pandang
anak, tapi juga dari sudut pandang orang tua. Mungkin itu satu-satunya jalan
agar tetap hidup rukun tanpa terus bersinggungan paham.
Semua
kesuksesan memang keren dan menakjubkan. Tapi, tidak semua manusia mulus jalan
hidupnya. Yang diberi banyak kemudahan, tentu akan bahagia karena banyak
hal-hal baik yang datang padanya. Yang jalannya berombak dan banyak badai, tentu
mereka akan menjadi manusia yang hebat karena mereka tidak dibentuk dari arus
hidup yang tenang.
Hari
ini aku telah sampai pada hati yang paling lapang untuk menanyakan, “Silakan,
hal buruk apa lagi yang akan datang?”
Akan selalu ada waktu dimana hidup membuat babak belur. Manusia tidak boleh naif kalau hidup akan selalu baik-baik saja. Mudah-mudahan kita selalu kuat. Sekuat kehidupan, cinta dan pemahaman. Rasa sedih dan kegagalan bukan berarti kekalahan.
Bahagia itu tidak ada. Manusia tidak
berkembang untuk bahagia. Ada banyak emosi negatif dan positif dalam diri kita.
Dan bahagia bukanlah yang utama. Sukses bukan segalanya. Sesekali, gagal perlu pengampunan.
Komentar
Posting Komentar