Mengampuni Kegagalan

Terlalu banyak kegagalan yang pernah dialami. Mungkin jika dicatat, akan lebih banyak rekam jejak kegagalan daripada kesuksesan. Pengalaman kegagalan sudah sering dialami sejak duduk di bangku sekolah dasar. Yang aku ingat, kegagalan saat sekolah dasar  adalah gagal mendapat juara kelas sebagaimana impian orang tua dan gagal memiliki teman saat sekolah dasar. Aku anak yang penyendiri saat sekolah dasar, seringkali tidak ditemani sehingga tidak memiliki banyak teman. Tapi setidaknya kegagalan tersebut terbayar ketika SMP. Prestasiku saat SMP cukup bisa membuat mama membangga-banggakan aku di depan keluarga yang lain. Ditambah saat SMP aku cukup memiliki banyak teman dan mampu bersosialisasi dengan baik.

Dengan prestasi di kelas yang lumayan keren, aku seringkali ditawari untuk mengikuti berbagai macam lomba. Dari lomba cerdas cermat hingga lomba menulis cerpen. Kegagalan demi kegagalan dimulai sejak saat itu. Dari sekian banyak lomba yang pernah diikuti saat SMP, alhamdulillahnya belum pernah ada yang sampai memboyong piala. Saat itu kepercayaan diri terbabat habis. Jiwa kompetitif mulai meredup dan akhirnya mulai menyerah mengikuti berbagai lomba. Mungkin memang aku kurang berbakat pada bidang perlombaan.

Kegagalan terbesar yang membuat aku merasa dijungkir balikkan oleh hidup adalah pada saat aku tidak diterima di universitas manapun. Saat itu aku dikategorikan siswa yang berprestasi di sekolah dan bahkan mendapat peringkat teratas di kelas. Dengan prestasi yang cukup memuaskan, aku sombong dan merasa untuk masuk perguruan tinggi negeri tidak akan terlalu sulit. Ternyata kenyataannya tidak ada universitas negeri yang mau menerimaku dengan nilai raport yang aku punya. Belum menyerah, aku kembali mencoba peruntungan melalui tes SBMPTN dan akhirnya gagal lagi. Bagi anak SMA yang naif dan merasa hidup akan selalu baik-baik aja, aku merasa hidupku runtuh seketika. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat selama satu tahun untuk kembali mempersiapkan tes perguruan tinggi di  tahun berikutnya.

Mengambil satu tahun cuti dengan ketidakjelasan akan masa depan membuat aku cukup frustasi. Pada waktu itu, aku seringkali membandingkan diriku dengan teman-teman yang lain. Di saat teman-temanku sudah mulai kuliah, membagikan momen ospek dan kuliah di sosial media sedangkan aku masih linglung entah mau kemana sambil berusaha mandiri mengumpulkan uang dengan bekerja serabutan. Saat itu aku berpikir bahwa mengambil gap year merupakan salah satu kegagalan terbesar dalam hidupku.

Tahun berikutnya akhirnya aku lulus tes perguruan tinggi. Track record kegagalan belum berhenti sampai di situ. Aku ditempa habis-habisan secara mental saat kuliah. Pada saat itu aku merasa tidak mampu menyeimbangkan kehidupan perkuliahan. Aku harus membagi waktu antara kuliah, organisasi, bekerja dan juga mencari pengisi hati. Meskipun sebenarnya opsi terakhir tidak perlu dilakukan karena setelah dicoba ternyata sangat merepotkan. Aku banyak keteteran pada saat kuliah dahulu.

Kalau dipikir-pikir, kegagalan percintaan lebih dominan pada saat itu. Meskipun kelihatannya sepele,  ternyata kerumitan percintaan anak muda benar-benar melelahkan. Dari mulai deket lama tapi gak cocok, diselingkuhin, dighosting sampai diselingkuhin lagi HAHAHA.  Sedih tapi akhirnya jadi banyak berkaca dan belajar. Bahwa ternyata tidak bisa asal mengizinkan orang lain masuk ke dalam hidup kita dan tidak bisa mencintai orang dengan asal dan sembarangan. Bab mencintai dan dicintai rasanya tidak akan pernah khatam, karena aku seringkali berakhir kurang baik dalam hal ini.

Lalu, merasa gagal juga menjadi anak yang berbakti karena seringkali berselisih paham dengan orang tua. Pemikiran dan cita-cita aku seringkali berbenturan dengan orang tua dan cukup alot untuk menemukan jalan tengahnya. Tidak ada yang lebih melelahkan ketimbang berselisih dengan orang tua sendiri. Sampai saat ini pun masih harus banyak belajar untuk menyederhanakan ego dan meninggikan empati pada mereka. Masih selalu belajar untuk tidak hanya melihat dari sudut pandang anak, tapi juga dari sudut pandang orang tua. Mungkin itu satu-satunya jalan agar tetap hidup rukun tanpa terus bersinggungan paham.

Banyak hal-hal tidak baik yang telah terjadi, namun memberikan pengajaran dan secara bersamaan membentuk aku seperti hari ini. Aku yang bisa pergi kemanapun sendiri. Aku yang bisa masa bodoh atas hal-hal tidak penting yang tidak ada urusannya denganku. Aku yang tidak mengizinkan orang lain membuat aku bersedih. Aku yang selalu berusaha untuk mewujudkan kesenanganku sendiri, meskipun tanpa orang lain. Aku yang seringkali gagal, dari dulu sampai sekarang. Tapi aku tahu kalau aku bukan manusia yang mudah patah.

Semua kesuksesan memang keren dan menakjubkan. Tapi, tidak semua manusia mulus jalan hidupnya. Yang diberi banyak kemudahan, tentu akan bahagia karena banyak hal-hal baik yang datang padanya. Yang jalannya berombak dan banyak badai, tentu mereka akan menjadi manusia yang hebat karena mereka tidak dibentuk dari arus hidup yang tenang.

Hari ini aku telah sampai pada hati yang paling lapang untuk menanyakan, “Silakan, hal buruk apa lagi yang akan datang?”

Akan selalu ada waktu dimana hidup membuat babak belur. Manusia tidak boleh naif kalau hidup akan selalu baik-baik saja. Mudah-mudahan kita selalu kuat. Sekuat kehidupan, cinta dan pemahaman. Rasa sedih dan kegagalan bukan berarti kekalahan.

Bahagia itu tidak ada. Manusia tidak berkembang untuk bahagia. Ada banyak emosi negatif dan positif dalam diri kita. Dan bahagia bukanlah yang utama. Sukses bukan segalanya. Sesekali, gagal perlu pengampunan.

Komentar

Postingan Populer