Labirin Perempuan
Morning coffee yang seharusnya menjadi media merekatkan hangat justru seringkali berubah menjadi sumpah serapah. Bukan kecupan terima kasih, melainkan semburan air kopi—yang katanya tak enak—yang menghampiri wajah. Setelahnya, kamu tidak lagi mau aku bikinkan kopi. Lalu, bercerita pada teman dan ibu bahwa istrimu tak becus melayanimu.
Tak
mudah mengerjakan tugas reproduktif dan produktif hanya mengandalkan kedua
tanganku. Aku istri atau pembantu? Aku istri atau pemuas nafsu?
“Dandanlah
sedikit. Suami datang sambut yang cantik. Tak nafsu aku melihat perempuan kumal
sepertimu.” Lalu, tanpa sepengetahuanku kamu lebih memilih merebah pada tubuh
lain di luar sana, lupa bahwa perempuan kumal ini yang seharusnya jadi
satu-satunya. Tak tahulah kamu bahwa cantik fisik bukan dibentuk dengan setumpuk
cucian, sederet pekerjaan rumahan dan serapah maki-makian.
Suamiku,
kamu lupa. Aku yang melepas kaus kakimu saat kau terlalu lelah bekerja. Aku yang
membuatkanmu sarapan hangat yang katamu tak seenak buatan ibumu. Aku yang
melahirkan hingga mendidik tubuh-tubuh kecil hasil percintaan kita dahulu tanpa
kau bantu. Aku yang membiarkanmu tidur pulas sementara pekerjaan rumah dan
teriakan anak-anak hampir membuatku tak waras.
Katamu
wajahku kumal tak cantik. Betul, ingin sekali aku beli perona bibir berwarna merah
muda itu. Tapi aku tahu kamu lebih butuh sepatu mengkilat agar tak malu di
tempat kerjamu. Katamu wajahku kusam tak menarik. Betul, ingin sekali aku rawat
wajahku dengan produk-produk yang katanya membuat wajah berkilau. Tapi tak rela
aku jika wajah cantik dibayar dengan anak-anakku yang bermain dengan pakaian
compang-camping. Suamiku, jangan lupa. Sebelum memaki, kamu harus tahu nafkahmu
tak cukup untuk membuatku cantik dan membuat keluarga kecil kita hidup.
“Kamu
tidak pernah berusaha menjadi istri yang baik. Layani aku. Hargai aku. Hormati
aku di rumah ini. Jangan suruh aku mengerjakan ini itu. Tugasmu. Semuanya tugasmu.
Aku suami. Aku kepala keluarga. Kamu harus belajar jadi istri yang sholeha dan
menyenangkan.”
Aku
menangis dan meraung, mencari pembelaan. Kau bilang aku durhaka karena tak
patuh. Aku mengeluarkan suara, membela diriku. Kau bilang aku pembangkang. Lima
jarimu mendarat panas pada pipiku, bentuk pendisiplinan.
Aku
telan semuanya hingga masuk pada setiap sendi-sendi tubuhku. Seorang istri harus
menjaga kehormatan suami, katanya. Terngiang-ngiang dalam kepala. Tak aku bagi
pada siapapun. Ibu mertua, lagi-lagi katamu aku harus banyak belajar. Belajar
jadi istri. Harus taat agar tak ditinggalkan. Ibu, katamu kau kasihan padaku. Tapi
malukah kalau ibu punya anak seorang janda sehingga ibu bilang pertahankan saja
neraka ini?
Aku
benar-benar menyerah. Biarlah aku jadi perempuan tidak mulia yang akan masuk
neraka karena membangkang suami. Biarlah akan aku cari pintu surga lain. Sungguh,
Tuhan tidak naif. Mana mungkin seonggok lelaki yang tak tahu bentuk penghargaan
seorang perempuan jadi jalanku menuju surga.
Aku
tanya pada kalian semua yang mendengar sekelumit kisahku. Ketika ruang
perempuan disekat hingga mati, dijebak dalam labirin tanpa pintu, tak ada
ruang, diintervensi, hormat dan taat seperti apa yang harusnya ku berikan pada
suami?
((Terisnpirasi dari cerita seorang kenalan yang hancurnya
sampai terasa olehku juga))
Komentar
Posting Komentar