Kilas Balik

2020 is almost over. Rasanya tahun ini lebih cepat dari biasanya. Kita semua tahu, mungkin karena pandemi. Banyak rencana yang tertunda bahkan gagal terlaksana. Banyak yang tidak berhasil bertahan di tengah pandemi. Banyak yang akhirnya terpapar baik fisik ataupun mentalnya akibat pandemi. Terasa atau tidak terasa, pandemi berdampak banyak pada kehidupan kita.

Di sisi lain saya memilih untuk memakai kacamata syukur selama pandemi. Awal tahun 2020 saya banyak menulis goals apa saja yang ingin saya lakukan di tahun ini. Semua yang saya tulis sebagian besar tidak terlaksana. Kalau hanya memikirkan tentang achievement tentu saya akan stress dan kecewa berat karena banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan saya. Mungkin saya kehilangan goals yang saya catat sebagai resolusi tahun ini, tapi saya mendapatkan hal lain yang jauh lebih berharga daripada sekadar mengejar sesuatu saja.

Kilas balik pada satu tahun terakhir, 2020 adalah awal dimana saya memberanikan diri untuk speak up for myself and stand on my own self. Saya selalu mendamba kebebasan. Apapun yang saya ingin lakukan, harus saya lakukan. No one can limit me. Tetapi sebagai anak perempuan yang lahir di keluarga yang cukup konservatif, semangat untuk mendapat ‘kebebasan’ itu terpenjara. Semangat itu terus ada, selalu berkobar, tapi karena sulit untuk diwujudkan saya takut semangat itu padam. Jangan sampai terjadi.

2020 menjadi awal untuk mewujudkan itu semua. Menantang diri saya untuk sejauh mana saya berani. Kalau di peribahasa Basa Sunda ada yang namanya, “Awewe mah pondok lengkah” dan saya ingin mendobrak itu. Mengawali 2020 dengan berangkat traveling sendirian ke luar provinsi dengan berbagai perdebatan izin yang sulit didapatkan, cukup menantang adrenalin saya. Perempuan rumahan yang tidak pernah kemana-mana menantang dirinya sendiri untuk pertama kali pergi sejauh 424 km dari rumahnya, sendirian.

Bagi beberapa orang itu mungkin hal yang biasa. Tapi bagi saya pribadi, it’s a big deal. Satu titik yang membuat saya berpikir bahwa saya memang bisa. Saya mampu. Orang-orang di sekitar saya saja yang tidak percaya bahwa saya bisa. Menantang diri sendiri pada awalnya membuat takut dan khawatir, tapi kalau tidak pernah dicoba you’ll never know your capability.

Tahun ini juga saya bisa motor. Jangan mentertawakan saya karena saya baru bisa motor di usia 20. Saya lebih senang dibonceng sih sebenarnya daripada nyetir sendiri. Tapi karena saya tidak bisa selamanya mengandalkan orang lain—dan ongkos gojek juga ternyata naik dua kali lipat—so I decided to drive on my own. You know what, meskipun gak suka nyetir tapi kalo sedang gabut dan butuh ngangin I’d like to take my motorbike and strolling around the town aimlessly. Abis online class dan merasa pusing, saya ngeluarin motor, jalan, padahal tidak tahu mau kemana. Tidak untuk ditiru karena membuang-buang bensin dengan percuma dan menyumbang polusi udara tapi bisa ditiru untuk melepaskan stress.

Pandemi juga membuat saya mencoba berbagai olahraga. Either jalan santai, lari, bersepeda, sampai exercise di rumah. Pada awalnya dilakukan hanya untuk membunuh bosan. Biar ada aktivitas. Tapi lama-kelamaan jadi rutinitas. Weekend sepedahan, kalo pagi jalan santai, di rumah workout. Hal-hal yang awalnya tabu untuk saya lakukan—saya gak suka olahraga—akhirnya bisa saya lakukan. Awalnya sakit badan tapi lama-lama ketagihan. Benefit dari olahraga yang saya rasakan adalah pola tidur yang jadi jauh lebih baik. Dulu selalu tidur antara jam 7-9 malam kemudian bangun dan baru kembali tidur abis shubuh. Setelah saya cukup rutin olahraga, pola tidur saya tanpa disadari jadi lebih normal dengan sendirinya.

Olahraga juga bikin saya gak sering badmood. I don’t know about the scientific theory, tapi saya pikir olahraga mengandung sesuatu yang bisa bikin orang merasa lebih baik dan merasa lebih senang.

Karena pandemi saya menghabiskan banyak waktu di rumah. Menyadari bahwa orang-orang di rumah adalah yang paling dekat tapi juga yang paling jarang in touch. Sebelum pandemi biasanya rumah hanya jadi tempat untuk tidur saja. Berangkat pagi pulang malam. Jarang ngobrol heart to heart dengan orang tua. Jarang curhat dengan adik. Pandemi memberikan ruang untuk itu. Saya bersyukur karena pandemi saya lebih dekat dengan orang tua, memperbaiki hubungan saya dengan mereka—terutama dengan mama. Saya tahu keseharian mereka dari bangun tidur hingga tidur kembali. Saya sering ngobrol dengan mereka, memahami sudut pandang mereka, memahami mengapa orang tua saya cenderung konservatif, dan banyak hal lain yang baru saya sadari setelah banyak berdiskusi dengan orang tua saya. Prasangka dan kesalahpahaman  lebih mudah diluruskan ketika kita terhubung dan sama-sama berbagi. Kita saling meredam ego untuk menghargai keinginan masing-masing.

Saya juga mengontak kembali teman-teman yang sudah lama tidak pernah berkomunikasi. Bertemu dengan mereka atau sekadar chatting. Bersua rutin dengan beberapa teman, bukan untuk membahas tugas-tugas kuliah atau curhat saja, tapi sengaja meluangkan waktu seharian untuk bertemu teman. Hanya untuk ngobrol. Ngobrol untuk saling memahami. Ngobrol untuk saling bertukar perspektif. Dan baru sadar bahwa meskipun sudah kenal lama tapi tidak kenal ‘dalam’ dengan mereka. Saya ingin lebih terhubung dengan orang-orang di sekitar saya. Hangout bareng teman mungkin kegiatan yang sangat membuang waktu, tapi juga kegiatan yang somehow bisa ngecharge diri kita.

Saya banyak traveling inside. Saya lebih mendekatkan diri pada saya. Memahami inginnya, memahami sedihnya, mengerti isi kepalanya. Saya mulai bersahabat dengan diri saya. Tidak merasa badmood karena jerawat yang terus muncul di wajah—padahal skincare saya tidak ada yang murah HAHAHA. Tidak lagi menahan diri untuk makan nasi padang meskipun sudah malam, berani untuk keluar dari toxic relationship yang selama ini mengungkung saya. Kalau dipikir-pikir I was so hard on myself back then. Saya tidak mau seperti itu lagi. Saya hidup sekali, kenapa harus repot-repot menyiksa diri.

Tepat saya menulis ini saya baru saja menyelesaikan buku yang sedang saya baca. Tahun ini saya rampung membaca sembilan buku baru dan ada beberapa buku lama yang saya baca ulang. Kalau dibandingkan dengan orang Jepang yang membaca 20-30 buku setiap tahunnya, memang belum ada apa-apanya. Tapi saya hanya ingin membandingkan diri saya saat ini dengan diri saya yang dulu. Saya memang suka baca tapi kalau dikalkulasikan dalam satu tahun mungkin saya hanya bisa baca 2-3 buku saja. Kira-kira saya hanya baca satu buku dalam empat bulan. Tahun ini saya bisa baca tiga kali lipat dari biasanya. And I’m super proud.

Kilas balik satu tahun saya biasa saja. Tidak ada yang istimewa, tidak ada pencapaian yang luar bisa, tidak ada penghargaan yang mengagumkan. Tapi sedikit-sedikit saya belajar. Bahwa hidup tidak hanya berlari mengejar apa yang ingin kamu capai, tidak hanya penghargaan akademis, bukan hanya pencapaian karir. Kalau hidup hanya tentang itu pasti capek dan tidak akan pernah merasa puas. Cukup menghargai apa yang kita punya saat ini, menghargai sekecil apapun perubahan yang kita lakukan.

Jangan hanya hidup tapi kamu juga harus merasa ‘sadar’ atas hidup yang sedang kamu jalani. Merasa terhubung dengan hidup kamu, dengan orang-orang di sekitar kamu. Dan yang paling penting adalah apapun yang kamu kejar kamu harus merasa hidup saaat menjalani hidup.


Jadi, bagaimana kilas balik satu tahunmu?

Komentar

Postingan Populer