Menjadi Manusia
Kita tidak pernah bisa memilih akan terlahir sebagai
apa, hidup seperti apa, mengambil peran apa atau merasakan tragedi seperti apa.
Tiap adegannya adalah kejutan yang tak pernah tertebak. Yang kita tahu bahwa
kita terlahir sebagai manusia, berhimpitan bersama jiwa-jiwa yang juga
ditakdirkan sebagai manusia di bawah luasnya kolong dunia. Kehidupan yang harus
kita arungi sebagai manusia adalah labirin gelap yang sulit terpecahkan. Kehidupan
yang disuguhkan pada manusia adalah serangkaian cerita teka-teki yang keras.
Seakan teka-teki itu mengatakan bahwa sebagai manusia kita harus selalu
bergegas.
Kehidupan membentuk kita menjadi manusia-manusia yang
tergesa. Mengabaikan suara sendiri karena terlalu sibuk mendengarkan riuh
ocehan manusia lain. Menghilangkan keinginan sendiri karena ingin memenuhi
kriteria yang diminta manusia lain. Kita seringkali menyembunyikan wujud asli
diri kita sendiri. Menguburnya jauh-jauh karena merasa tak pernah utuh. Kita
adalah korban sekaligus pelaku atas pengkerdilan kejam pada diri kita sendiri.
Katanya, dunia durjana dan kita dituntut untuk selalu
kuat. Seakan merasa sedih dan lelah adalah terlaknat. Tapi kita lupa, bahwa
kita hanya segumpal tanah yang bernyawa. Lemah, tak ada apa-apanya. Standar
sosial melarang kita untuk terlihat murung, tapi siapa peduli? Bersandar saja
ketika bahumu terasa berat menopang segalanya. Siapa peduli? Menangis saja jika
kehidupan menyakitimu bertubi-tubi. Kita akan tetap baik-baik saja meskipun
merasa tidak baik-baik saja.
Kehidupan juga memaksa kita untuk berlari cepat.
Menoleh kesana kemari, membandingkan perjalanan hidup kita dengan orang lain.
Seakan kehidupan adalah perlombaan yang harus dimenangkan. Kita terlalu sibuk
mengukur kebahagiaan orang lain. Kemudian membenci hidup kita sendiri karena
terasa tak sebahagia manusia lain. Kita terlalu sibuk saling membandingkan
sampai lupa kalau kehidupan tiap manusia mempunyai landasan yang tak bisa sama.
Kita lupa, bahwa mereka sedang memperjuangkan hidup mereka melalui perspektif
mereka masing-masing.
Dunia mungkin luas, namun terasa sesak oleh
percekcokan antar manusia. Seperti tidak ada toleransi atas perbedaan isi
kepala dari milyaran manusia yang ada di dunia. Kita sibuk membenci tanpa ingin
mengenali dan memahami. Padahal, kita sebaiknya bertemu di tengah-tengah antara
ego benar atau salah. Kita hanya perlu berhenti berdebat dan memaklumi bahwa
kita tak bisa membuat replika atas cara pikir kita pada orang lain. Dunia telah
sesak dipenuhi manusia yang ‘merasa paling’. Paling benar, paling susah, paling
menderita, paling hebat dan berbagai paling lainnya sehingga mereka lupa untuk
belajar berempati pada manusia lain.
Tragedinya, kita adalah manusia yang sibuk mengurusi
manusia lain hingga lupa untuk menjadi sebaik-baiknya manusia.
Wow
BalasHapus